Nahdlatun Nisa
Nahdlatul nisa’bersal dari kata “Nahdlah” yang artinya bangkit dan ‘’Nisa’’ adalah perempuan. Secara etimologi nahdlatun nisa berarti kebangkitan perempuan dari masa ke masa yang kemudian gerakannya menjadi pembaharu tanpa membongkar tradisi. Dalam sejarahnya sendiri, perempuan Indonesia yang selalu berada dibawah laki-laki dalam mendapatkan hak berpendidikan, kesehatan dan ekonomi politik, membuat perempuan Indonesia tergugah untuk menyuarakan hak. Dalam hal ini, perempuan sebagai madrasatul ula dan harus berbakti kepada suami, tidak boleh melupakan kodratnya. Semangat nasionalisme para pemuda diikuti oleh para perempuannya.
Gerakan perempuan pada masa pra kemerdekaan yaitu pada masa penjajahan, perlakuan ketidakadilan yang dialami perempuan Indonesia, khususnya dalam lingkup keluarga, ditulis pada surat-surat Kartini dari tahun 1878 sampai 1904 yang dibukukan pada permulaan abad ke-20. Surat – surat Krtini kebanyakan berisi tentang nilai tradisi khususnya dari tradisi Jawa yang cenderung membelenggu perempuan, tergantung pada laki-laki sehingga perempuan menjadi kaum yang tidak berdaya. Kartini menetapkan ketidakadilan perempuan dalam sistem kebudayaan masyarakat.
Strategi yang dilakukan oleh Kartini dalam mengatasi permasalahan kaunnya dengan cara melalui pendekatan pendidikan. Sehingga pada masa itu munculah organisasi perempuan modern. Organisasi tidak hanya melawan penjajah tetapi juga adat istiadat yang mendeskrminasi perempuan. Dalam masa pra kemerdekaan dalam memperjuangkan keadilan perempuan, perjuangan Kartini dilanjutkan oleh beberapa tokoh perempuan seperti Dewi sartika. Organisasi perempuan tumbuh bagaikan jamur. Pada masa itu organisasi yang berkembang adalah organisasi perempuan yang terkait pada agama, seperti, Aisyah, NU, Wanita, Tarbiyah.
Pada 1928 dikatakan sebagai titik balik perjuangan perempuan, tepatnya saat diselenggarakannya Kongres Perempuan Pertama di Dalem Djojodipuran , Yogyakarta. Kongres itu diprakarsai oleh tiga tokoh perempuan yang progresif, yaitu Ibu Soekonto (Wanita Utomo), Nyi Hajar Dewantara (Wanita Taman Siswa), dan Ibu Soejatim (Puteri Indonesia). Salah satu keputusan penting adalah terbentuknya federasi Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) Yang pada 1929 mengganti nama menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia. Dan akhirnya berubah menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) pada 1946. Pada dasarnya semua organisasi mempunyai tujuan yang sama yakni menghilangkan ketidak adilan terhadap kaum wanita.
Pada tahun 1946, didirikanlah salah satu organisasi perempuan berbasis NU dimana Nyai Djuasih adalah ketuanya pada periode 1950-1952. Meski menjadi sosok perintis Muslimat NU, Nyai Djuaesih tak begitu menonjol sebagai organisator dalam kepengurusan Muslimat. Dia lebih populer sebagai mubalighat dalam kepengurusan Muslimat NU Jawa Barat. "Di dalam Islam bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik mengenai pengetahuan agama dan pengetahuan lain. Kaum wanita pun wajib mendapatkan didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntutan agama. Karena itu, kami wanita yang tergabung dalam NU mesti bangkit,"pidatonya di atas mimbar mantap.
Sontak, pidatonya membuat para hadirin terpesona. Dia akhirnya dikenal sebagai sosok perempuan NU yang pertama kali naik mimbar dalam forum resmi organisasi.
Sejak bergulirnya reformasi, wacana gender mengalami gelombang perubahan yang signifikan. Publik semakin sensitif terhadap isu perempuan dan kesetaraan gender. Menurut Riant Nugroho setidaknya terdapat tiga gerakan perempuan Indonesia. Pertama antara tahun 1975-1985 terjadi ketidakpedulian LSM terhadap isu gender. Analisi gender tiak dianggap penting oleh sebagian besar aktifis sehingga sering menimbulkan konflik dengan aktifis perempuan. Kedua adalah periode 1985-1995 merupakan masa pengenalan dan pemahaman dasar mengenai anasilis gender dan kaitannya dengn masalah pembangunan. Periode selanjutnya yakni strategi integrasi dan advokasi.
Gerakan perempuan dalam NU mengalami pasang surut, pada awal pembentukan fatayat dan muslimat, salah satu lembaga perempuan mendapat tantangandari otoritas kyai. Dalam periode tertentu gerakan perempuan NU sangat terbatas, bahkan cenderung di kontrol oleh otoritas kyai dalam NU yang masih kuat. Pada masa selanjutnya gerakan perempuan NU terlihat sangat progresif. Kritik-kritik terhadap teks agama yang bias gender menjadi titik tolak gerakan perempuan NU dalam membongkar struktur patriarki yang membelenggu perempuan.
Kamis, 31 Mei 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Bagaimana rasanya setelah diperjuangkan mati - matian dan sekarang di acuhkan sedemikian? tak pernahkah terlintas bagaimana dulu sulitnya me...
-
Nahdlatun Nisa Nahdlatul nisa’bersal dari kata “Nahdlah” yang artinya bangkit dan ‘’Nisa’’ adalah perempuan. Secara ...
-
. Kelebihan dan kekurangan 1. Kelebihan Konseling Islami Konseling Islami memiliki tujuan yang mengarahkan individu kepada ketenanga...
-
INTEGRASI SAINS MODAL SEYYED HOSSEIN NASR Makalah Di susun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Falsafah Kesatuan Ilmu Dosen Pengam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar