Nama : Kafita sari
Kelas : BPI-B2
Nim :1701016076
Matakuliah :Ilmu Fiqh
Dosen : Dr.Ummul Baroroh ,M.Ag
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang sempurna. Namun juga manusia adalah makhluk yang sangat rentan tergoda oleh hal-hal yang ada didunia yang sementara ini. Dengan kesempurnaanya manusia, mereka mempunyai akal , nafsu, dan pemikiran yang sangat berkembang namun halite tidak menjamin bahwa manusia akan menjadi makhluk yang arif dan bijaksana.
Manusia membutuhkan lawan jenis untuk menyalurkan nafsu keinginannya dalam membangun ikatan pernikahan untuk menurunkan keturunan yang sah sesuai dengan ketentuan islam. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai hukum-hukum pernikahan sesuai dengan syariat agama islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pergaulan pra nikah?
2. Apa saja rukun dan syarat nikah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pergaulan Pra Nikah (Pacaran)
Istilah pacaran berasal dari kata dasar pacar yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Istilah pacaran dalam Bahasa Arab disebut tahabbub. Pacaran berarti bercintaan, berkasih-kasihan, yaitu dari sepasang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Apa yang terjadi dalam sebuah hubungan antara seseorang dengan orang lain secara garis besar dapat dikelompokan menjadi lima: perkenalan, hubungan sahabat, jatuh cinta, hubungan intim, dan hubungan suami istri.
1. Perkenalan
Islam tidak melarang seseorang untuk mengenal orang lain, termasuk lawan jenis yang bukan mahram. Bahkan, Islam menganjurkan kepada kita untuk bersatu, berjamaah. Karena kekuatan Islam itu adalah diantaranya kejamaahan, bahkan Allah menciptakan manusia menjadi berbangsa-bangsa bersuku-suku untuk saling mengenal.
2. Hubungan Sahabat
Hubungan sahabat adalah hubungan sebagai kelanjutan dari sebuah hubungan yang saling mengenal. Setelah saling mengenal, hubungan seseorang akan meningkat menjadi sahabat atau teman. Hubungan saling mengenal yang berlangsung sangat lama akan muncul rasa saling solidaritas yang lebih tinggi untuk saling menghormati dan bahkan bekerja sama. Dalam Islam hubungan semacam ini tidaklah dilarang.
3. Jatuh cinta
Islam juga tidak melarang seseorang untuk saling mencintai sesuatu, tetapi untuk tingkatan ini harus ada batasannya. Jika rasa cinta ini membawa seseorang kepada perbuatan yang melanggar syariat, berarti sudah terjerumus ke dalam larangan. Rasa cinta tadi bukan lagi diperbolehkan akan tetapi malah dilarang. Perasaan cinta itu timbul karena memang manusiawi, perasaan ini adalah perasaan yang normal , dan setiap yang normal memiliki perasaan. Islam juga tidak melarang seseorang mencintai sesuatu, tetapi untuk tingkatan ini harus ada batasnya. Jika rasa cinta ini membawa seseorang kepada perbuatan yang melanggar syariat, berarti sudah terjerumus ke dalam larangan. Rasa cinta tadi bukan lagi dibolehkan, tetapi sudah dilarang. Perasaan cinta itu timbul karena memang dari segi zatnya atau bentuknya secara manusiawi wajar untuk dicintai. Perasaan ini adalah perasaan normal, dan setiap manusia yang normal memiliki perasaan ini. Jika memandang sesuatu yang indah, kita akan mengatakan bahwa itu memang indah.
Imam Ibnu al-Jauzi berkata, Untuk pemilihan hukum dalam bab ini, kita harus katakan bahwa sesungguhnya kecintaan, kasih sayang, dan ketertarikan terhadap sesuatu yang indah dan memiliki kecocokan tidaklah merupakan hal yang tercela. Terhadap cinta yang seperti ini orang tidak akan membuangnya, kecuali orang yang berkepribadian kolot. Sedangkan cinta yang melewati batas ketertarikan dan kecintaan, maka ia akan menguasai akal dan membelokkan pemiliknya kepada perkara yang tidak sesuai dengan hikmah yang sesungguhnya, hal seperti inilah yang tercela.Begitu juga ketika melihat wanita yang bukan mahram, jika ia wanita yang cantik dan memang indah ketika secara tidak sengaja terlihat oleh seseorang, dalam hati orang tersebut kemungkinan besar akan terbesit penilaian suatu keindahan, kecantikan terhadap wanita itu. Rasa itulah yang disebut rasa cinta, atau mencintai. Tetapi, rasa mencintai atau jatuh cinta di sini tidak berarti harus diikuti rasa memiliki. Rasa cinta di sini adalah suatu rasa spontanitas naluri alamiah yang muncul dari seorang manusia yang memang merupakan anugerah Tuhan.Sampai batas ini, syariat Islam masih memberikan toleransi, asalkan dari pandangan mata pertama yang menimbulkan penilaian indah itu tidak berlanjut kepada pandangan mata kedua. Karena, jika raca cinta ini kemudian berlanjut menjadi tidak terkendali, yaitu ingin memandang untuk yang kedua kali, hal ini sudah masuk ke wilayah larangan. Allah SWT berfirman yang artinya “Katakanlah laki-laki yang beriman hendaklah merekan menahan pandangannya dan memelihara kemaluaanya yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka perbuat. ‘’ (QS.An-Nurr ayat 30).
4. Hubungan Intim
Jika rasa cinta sudah berlanjut,yaitu menimbulkan langkah baru dan secara kebetulan pihak lawan jenis merespon dan menerima hubungan ini, terjadilah hubungan yang levelnya jauh lebih tinggi yaitu hubungan intim. Hubungan ini sudah benar-benar melanggar aturan. Bersalaman dan bergandengan tangan agaknya sudah menjadi pemandangan yang sudah biasa sekarang ini, bahkan saling berciuman sudah menjadi tren pergaulan muda-mudi sekarang yang disebut dengan istilah berpacaran.. Barangsiapa yang memandang seorang wanita (yang tidak halal) baginya, maka Allah akan memenuhi kedua matanya dengan api dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam neraka. Barangsiapa yang berjabat tangan dengan seorang wanita (yang) haram (baginya) maka di hari kiamat dia akan datang dalam keadaan di belenggu tangannya di atas leher, kemudian diperintahkan untuk masuk ke dalam neraka. Dan barangsiapa yang bersenda gurau dengan seorang wanita, maka dia akan ditahan selama seribu tahun untuk setiap kata yang diucapkan di dunia. Sedangkan setiap wanita yang menuruti (kemauan) lelaki (yang) haram (untuknya), sehingga lelaki itu terus membarengi dirinya, mencium, bergaul, menggoda dan bersetubuh dengannya, maka wanitu itu juga mendapatkan dosa seperti yang diterima oleh lelaki tersebut.
Hubungan intim ini akan sampai pada puncaknya jika terjadi suatu hubungan sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh suami istri.
5. Hubungan Suami-Istri
Agama Islam itu adalah agama yang tidak menentang fitrah manusia. Islam sangat sempurna di dalam memandang hal semacam ini. Manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki dorongan sek. Oleh karena itu, Islam menempatkan syariat pernikahan sebagai salah satu sunah nabi-Nya.
Hubungan sepasang kekasih mencapai puncak kedekatan setelah menjalin hubungan suami-istri. Dengan pernikahan, seseorang sesungguhnya telah dihalalkan untuk berbuat sesukannya terhadap istri/suaminya (dalam hal mencari kepuasan libido seksualnya: hubungan badan), asalkan saja tidak melanggar larangan yang telah diundangkan oleh syariat.
Kita tidak menyangkal bahwa di dalam kenyataan sekarang ini meskipun sepasang kekasih belum melangsungkan pernikahan, tetapi tidak jarang mereka melakukan hubungan sebagaimana layaknya hubungan suami-istri. Oleh karena itu, kita sering mendengar seorang pemudi hamil tanpa diketahui dengan jelas siapa yang menghamilinya. Bahkan, banyak orang yang melakukan aborsi (pengguguran kandungan) karena tidak sanggup menahan malu memomong bayi dari hasil perbuatan zina.
Jika suatu hubungan muda-mudi yang bukan mahram (belum menikah) sudah seperti hubungan suami istri, sudah tidak diragukan lagi bahwa hubungan ini sudah mencapai puncak kemaksiatan. Sampai hubungan pada tingkatan ini, yaitu perzinaan, banyak pihak yang dirugikan dan banyak hal telah hilang, yaitu ruginya lingkungan tempat mereka tinggal dan hilangnya harga diri dan agama bagi sepasang kekasih yang melakukan perzinaan. Selain itu, sistem nilai-nilai keagamaan di masyarakat juga ikut hancur.
A. Rukun dan Syarat Nikah
Rukun dan Syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal,dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
1. Calon mempelai laki-laki
2. Calon mempelai perempuan
3. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan.
4. Dua orang saksi
5. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami.
Mahar yang harus ada dalam perkawinan tidak termasuk ke dalam rukun,karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian mahar termasuk dalam syarat perkawinan.
1. Akad Nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul . ulama sepakat menepatkan ijab dan qabul itu sebagai rukun perkawinan. Untuk sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa syarat, yaitu:
• Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Qabul adalah penerimaan dari pihak laki-laki.
• Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda , seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan.
• Ijab dan qabul harus diucapkan secara berkesinambungan tanpa terputus walaupun sesaat.
• Ijab dan qobul tidak boleh menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan , karena perkawinan itu ditunjukan untuk seumur hidup.
• Ijab dan qabul harus menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang.
UU perkawinan tidak mengatur tentang akad perkawinan bahkan tidak membicarakan akad sama sekali. Mungkin UU perkawinan menepatkan akad perkawinan itu sebagaimana perjanjian atau kontrak biasa dalam tindakan perdata. Namun KHI secara jelas mengatur akad perkawinan dalam pasal 27, 28, dan 29.
Pasal 27
Ijab dan qobul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.
Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 29
(1) Yang berhak mengucapkan qabul adalah calon mempelai pria secara pribadi
(2) Dalam hal tertentu ucpan qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
(3) Dalam hal calon memepelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili , maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan
2. Laki –laki dan perempuan yang kawin.
Islam hanya mengakui perkawinan antara perempuan dan laki-laki dan tidak boleh lebih dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesame perempuan. Adapun syarat untuk laki-laki dan perempuan yang akan kawin ini adalah sebagai berikut:
• Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya , baik menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan,dan hal-hal yang berkenaan dengan dirinya.
• Keduanya sama-sama beragama Islam (tentang kawin lain agama dijelaskan tersendiri)
• Antara keduanya tidak terlarang melakukan pernikahan .
• Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang akan mengawininya.
• Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
UU Perkawinan mengatur persyaratan persetujuan kedua mempelai ini dalam pasal 6 dengan rumusan yang sama dengan fiqh. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan dari kedua calon mempelai . KHI mengatur persetujuan tersebut dalam pasal 16 yaitu:
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
(2) Bentuk persetujuan dalam calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
3. Wali dalam perkawinan
Susunan wali:
• Bapaknya
• Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan)
• Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya
• Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya
• Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
• Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya
• Paman dari pihak bapak
• Anak laki-laki dari pamannya dari pihak bapak
• Wali hakim
Syarat –syarat wali:
• Islam. Orang beragama lain tidak sah untuk menjadi wali nikah.
• Balig (sudah berumur sedikitnya 15 tahun)
• Berakal
• Merdeka
• Laki-laki
• Adil
HKI dalam wali ini menjelaskan secara lengkap dan keseluruhannya mengikuti fiqh mazhab jumhur ulama. Wali ini diatur dalam pasal 19, 20, 21, 22, dan 23.
Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhibagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim,aqil dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari :wali nasab dan wali hakim
4. Saksi
Syarat-syarat saksi:
• Saksi itu berjumlah paling sedikit dua orang. Inilah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama.
• Kedua saksi beragama islam
• Kedua saksi adalah orang yang merdeka
• Kedua saksi itu adalah laki-laki.
• Kedua saksi berlaku adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap mejaga muruah.
• Kedua saksi dapat mendengar dan melihat.
UU Perkawinan tidak menepatkan kehadiran saksi dalam syarat-syarat perkawinan, namun UU perkawinan menyinggung kehadiran saksi itu dalam Pembatalan Perkawinan dan dijadikan sebagai salah satu hal yang membolehkan pembatalan perkawinan,.HKI mengatur saksi dalam perkawinan dalam pasal 24, 25, dan 26 dalam rumusan sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksaan akad nikah
(2) Setiap perkawinan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidakterganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli
Pasal26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.
KESIMPULAN
Istilah pacaran berasal dari kata dasar pacar yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Istilah pacaran dalam Bahasa Arab disebut tahabbub. Pacaran berarti bercintaan, berkasih-kasihan, yaitu dari sepasang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Apa yang terjadi dalam sebuah hubungan antara seseorang dengan orang lain secara garis besar dapat dikelompokan menjadi lima: perkenalan, hubungan sahabat, jatuh cinta, hubungan intim, dan hubungan suami istri.
Rukun dan Syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut sah atau but dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal,dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syariffudin, 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia:Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta.Prenada Media
Rasyid Sulaiman, 2017.Fiqh Islam. Bandung.Sinar Baru Algesindo
http://anugerah.hendra.or.id/pra-nikah/1-adab2-pergaulan-pra-nikah/hubungan-muda-mudi-sebelum-menikah-pacaran-dalam-tinjauan-syariat/
Jumat, 18 Mei 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Bagaimana rasanya setelah diperjuangkan mati - matian dan sekarang di acuhkan sedemikian? tak pernahkah terlintas bagaimana dulu sulitnya me...
-
Nahdlatun Nisa Nahdlatul nisa’bersal dari kata “Nahdlah” yang artinya bangkit dan ‘’Nisa’’ adalah perempuan. Secara ...
-
. Kelebihan dan kekurangan 1. Kelebihan Konseling Islami Konseling Islami memiliki tujuan yang mengarahkan individu kepada ketenanga...
-
INTEGRASI SAINS MODAL SEYYED HOSSEIN NASR Makalah Di susun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Falsafah Kesatuan Ilmu Dosen Pengam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar